Rabu, 07 Juli 2010

Mandala Kendan



Catatan;Tahap I Observasi “Nuras” 2009
Oleh : ST. Wahyu Joko Subroto


”Mandala Kendan”
Sebagai Latar Belakang Sejarah Daerah


Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’
Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’
‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’
(Carita Parahyangan, Drs.Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)



Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”.
Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha).
Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.
Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :

“ Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”
( carita parahyangan;Danasasmita, 1983:41 )



Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :


“ Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”

“ ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”.
( Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )



Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya merubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu diantara sungai Cimuntur dan Citanduy. sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada dibawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas merubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.




“Nuras”
Serpihan Kearifan Warisan Kendan di Nagreg

Erat sejarah kendan dengan adanya satu upacara budaya yang disebut “Nuras”, sebuah ritual “ruwatan” di sumber mata air yang berada di Kp. Nenggeng, sebelah utara Kec.Nagreg, mata air tersebut mengalir dari kawasan lindung yang terletak dalam kawasan Desa Citaman, yaitu kawasan lindung yang pada masa lalu disebut sebagai “hulu alas”. Daerah ini bersebelahan dengan Kp. Pamujaan yang tercatat dalam beberapa temuan pencatat perjalanan; daiantaranya Plyete dan Tom Piere, mereka menyatakan pernah ditemukan sebuah arca durga kecil 500 M ke utara dari stasiun Nagreg. Bukti pernah adanya satu kepercayaan yang berkembang di daerah ini atau sebuah bangunan sejarah.
Dari mata air dengan debit lebih dari 10lt/detik ini, masyarakat mengairi lahan kebun, sawah bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Nikmat sejahtera dari adanya mata air Nenggeng, sejak dulu mereka wujudkan dalam sebuah bentuk syukuran yang bernama “Nuras”(dalam bahasa sunda) berarti “Namperkeun cai” atau menjernihkan air dengan cara dibiarkan mengendap kotorannya.
Namun pada pealaksanaanya merawat air dengan “Nuras”, penuh dengan aktifitas, bukan dibiarkan begitu saja, seperti halnya mengendapkan kotoran atau lumpur dalam air, tetapi melakukan aktifitas membersihkan mata air dan saluran-salurannya, mengangkat kotoran dan lain sebagainya.
Setiap awal musim hujan ditempat ini sering dilakukan upacara sakral;memuji sukur terhadap penguasa alam beserta isi. Amitsun atau meminta izin kepada penguasa alam beserta isinya, demikian masyarakat menyebutnya. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan saluran mata air agar airnya mengalir dengan baik.
Pada puncak upacara masyarakat menyembelih seekor kambing hitam, untuk kemudian dagingya dinikmati bersama oleh masyarakat. Upacara ini sudah jarang dilakukan, tetapi 2004 atas prakarsa kepala Desa saat itu Bpk. Endang Sukarya dan pemerintahan Kecamatan atas lalu kembali dilakukan. Upacara tafakur yang pada intinya bersyukur kepada yang Kholik bahwa telah diberi berkah dan kesejahteraan yang melimpah dengan hadirnya air ini.


Dalam Kropak - kropak

“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara didalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ). Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.
Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara “Patanjala”, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.
Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara “Nuras” sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala ( air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri ( Padi ).



“Nuras” 2004
Latar belakang pelaksanaan
( Testimonial Bpk. Endang Sukarya )

Menemui mantan kepala Desa Citaman ya
ng menjabat pada tahun 2004, ia adalah seorang pengagas untuk melaksanakan “nuras”, meskipun pada dasarnya ia pun tidak banyak mengetahui secara detail pelaksanaannya.
“Kenapa tidak…tidak ada yang susah, ya.. laksanakan saja, selama tidak bertentangan dengan akidah” jawab Bpk. Endang Sukarya, ketika kami temui di sela silaturahmi Idul fitri.
Dengan maksud melestarikan sumber mata air di Desa Citaman khususnya di Kp. Nenggeng, agar tidak rusak, kami sempat mengusahakan bagaimana caranya wilayah hutan konservasi di Kp. Nenggeng yang luasnya ±1Hektar agar diperluas lagi. Bahkan bukan hanya di Kp. Nenggeng saja tetapi di sumber mata air lainnya. Ujar Bpk. Endang mantan lurah Desa Citaman. Namun ada beberapa program yang tidak sependapat dengan pihak perhutani, terkait jenis tanaman hutan yang akan ditanam. Pihak perhutani malah menanam pinus yang pada dasarnya kurang baik untuk daerah serapan.
Pernah untuk daerah Cibener kita mengirim tanaman jenis Angsana untuk ditanam di lokasi serapan mata air, tapi sayang masyarakatnya kurang menunjang, berbeda hal dengan masyarakat Kp. Nenggeng, tandasnya.
Sejak dulu sebenarnya air dari Kp. Nenggeng itu tak pernah sampai ke Nagreg. Namun Alhamdullah setelah “Nuras” dilaksanakan, kemudian membangun saluran dengan menggunakan paralon dari mata air Kp. Nenggeng, air dapat sampai ke Cigorowong atau Nagreg, bahkan sampai ke rumah ini, ujarnya.



Struktur Pelaksanaan “Nuras”

Sebagai sebuah upacara “Nuras” memiliki struktur pelaksanaan, yang sistematis :

Wujud pengelolaan serta perawatan hulu alas, mata air dan alirannya. Kawasan lindung hulu alas) atau dalam hal ini wilayah konservasi ( Leuweung titipan ), yang menjadi daerah serapan menjadi kemutlakan untuk dijaga , dirawat bahkan dijadikan hutan larangan. Segala apa yang akan merusak atau menghancurkan, tabu atau tidak boleh dilakukan. Segala apa yang ada di dalamnya tidak boleh dibinasakan.

1. Diawali oleh sebuah kerjasama, gotong royong, bahu membahu dalam bentuk membersihkan mata air di hulu alas atau kawasan lindung, kemudian dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pula aliran-aliran sungainya. Dengan tujuan agar air yang mengalir dari hulu alas dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat, dengan tata dan pengaturan yang disepakati bersama oleh masyarakat pula.

2. Setelah masyarakat bergotong-royong membersihkan, membenahi mata air dan alirannya. Dilokasi mata air yang terdapat di hulu alas, dilakukan upacara “Ngukus”, sesepuh menyajikan atau menyediakan sesaji, aneka makanan, “rujakan”, kemudian dengan membakar kemenyaan, kayu gaharu atau wewangian, maka upacara diawali. Pada sesi ini sesepuh atau orang di tuakan membacakan mantra/doa, meminta izin kepada yang Kholik agar air ini tetap terawat dan bisa bermanfaat.

3. Dilanjutkan dengan “muja” menyembelih seekor kambing hitam. Kepala kambing kemudian di kubur tepat diseputar mata air. Sebagai peringatan/pesan bahwa sifat buruk manusia itu berawal dari pikiran, dan pikiran buruk itu mestilah dibuang, dikubur, diraksa atau dikembalikan ke dunia bawah tempatnya nafsu buruk, dari buana panca tengah, dunia manusia. Pada tahapan ini disertai doa-doa, memanjatkan fuji serta syukur kepada yang Kholik, penguasa yang Maha tunggal.

4. Daging dari kambing hitam kemudian langsung dimasak di lokasi hulu alas, ditambah dengan makanan-makanan lainya, atau membuat “laksa” dari hasil bumi masyarakat setempat, untuk dimakan dan dinikmati bersama. Baik penguasa hingga ke penduduk biasa berbagi bersama sebagai sebuah berkah dari yang Kuasa.

Demikian pola dasar struktur pelaksanaan “Nuras” pada mulanya. Sebagai sebuah warisan budaya “Nuras”, bukanlah sebuah pola atau struktur yang baku dalam sebuah pelaksanaan. Pertimbangan perubahan kepercayaan, religi dan lain sebagainya, tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan, selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah adat. Namun bukan pula “Nuras” kini harus dilakukan sebagai satu ritus seperti pada awalnya. Inovasi namun berakar pada pola dasarnya “konservatif” menjadi landasan bahwa sebuah kearifan peninggalan leluhur dapat berkembang sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat kini.
Maka sebagai sebuah hasil dari sebuah observasi mendalam, sebagai sebuah langkah awal kajian yang lebih dalam lagi, melalui pembandingan-pembandingan dan proses adaptasi dalam sebuah konsep pesta budaya (dalam teori pertunjukan), “Nuras” dapat dikembangkan menjadi sebuah system yang lebih akrab dan dimengerti pada masa kini, agar mudah dimengerti dan bersahabat dengan kaidah-kaidah, norma dan religi masyarakat kini.

Nuras yang di “adaptasi” menjadi pola serta struktur pelaksanaan sebagai berikut :

Seperti halnya pada pokok “nuras” mulanya, menjaga dan merawat hulu alas atau kawasan lindung menjadi mutlak untuk dijaga dan tidak diperbolehkan siapapun untuk mengganggunya.

1. Diawali oleh sebuah kerjasama, gotong royong, bahu membahu dalam bentuk membersihkan mata air di hulu alas atau kawasan lindung, kemudian dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pula aliran-aliran sungainya. Dengan tujuan agar air yang mengalir dari hulu alas dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat, dengan tata dan pengaturan yang disepakati bersama oleh masyarakat pula. Wujud pengelolaan serta perawatan hulu alas, mata air dan alirannya.

2. Setelah masyarakat bergotong-royong membersihkan, membenahi mata air dan alirannya. Dengan diringi tetabuhan terbang, buncis, karinding dan angklung, diaraklah seekor kambing hitam, menuju kelokasi mata air yang berada di hulu alas. Aneka hasil bumi turut pula di arak, sebagai simbol-simbol kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, atas hadirnya air di Nenggeng yang memberikan berkah kepada proses hidup dan kehidupan masyarakat.

3. Sampai di hulu alas tepat di mata air, dilakukan upacara “Ngukus”, sesepuh menyajikan atau menyediakan sesaji, aneka makanan, “rujakan”, kemudian dengan membakar kemenyaan, kayu gaharu atau wewangian, maka upacara diawali. Pada sesi ini sesepuh atau orang di tuakan membacakan mantra/doa/shalawatan, meminta izin kepada yang Kholik agar air ini tetap terawat dan bisa bermanfaat.

4. Babak berikutnya adalah menyembelih seekor kambing hitam. Kepala kambing kemudian di kubur tepat diseputar mata air. Sebagai peringatan/pesan bahwa sifat buruk manusia itu berawal dari pikiran, dan pikiran buruk itu mestilah dibuang, dikubur, diraksa atau dikembalikan ke dunia bawah tempatnya nafsu buruk, dari buana panca tengah, dunia manusia. Pada tahapan ini disertai doa-doa, shalawat dan lain sebagainya, memanjatkan fuji serta syukur kepada yang Kholik, penguasa yang Maha tunggal.

5. Daging dari kambing hitam kemudian langsung dimasak di lokasi hulu alas, ditambah dengan makanan-makanan lainya, dari hasil bumi masyarakat setempat. Disambut tetabuhan seni gondang bertalu, sebagai refleksi atas rasa syukur, parawari menyiapkan hidangan/laksa/ untuk dinikmati bersama, wujud berbagi masyarakat.

6. Diakhiri doa, masyarakat berkumpul, menyantap hidangan sambil menyaksikan pentas kesenian.






Daftar Pustaka

Adiwilaga, Prof, Ir. Anwas
1975 “Beberapa Catatan Tentang Penulisan Sejarah Jawa barat”, Sejarah Jawa Barat
Sekitar Permasalahannya. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan
Nasional Prov. Jawa Barat.

Atja dan Drs. Saleh Danasasmita, Drs.
1981 b Carita Parahyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung : Proyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Wangsakerta, Pangeran.
1680 Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra. Parwa II, Sarga 4. Naskah Milik Museum
Negeri Jawa barat.

Djatisunda Anis.
1981 Tata Kehidupan “Urang Kanekes”. Bandung : Naskah Laporan untuk BAPPEDA
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa barat.

Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda
1986 “Kehidupan Masyarakat Kanekes”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung : Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.